" STOP ILEGAL LOGGING, REMEMBER GLOBAL WARMING "
Sabtu, Maret 14, 2009
Banjir...Apakah Sebab dari Hutan gundul???
Add this effect to your own photos
Telah menjadi pandangan umum saat ini, bahwa Perhutanilah yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang terjadi di Jawa, entah itu hutan negara yang dikelola Perhutani atau bukan. Akibatnya Perhutani menjadi kambing hitam atas bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi. Sementara hutan yang semakin rusak masih diperebutkan oleh berbagai pihak dengan kepentingan masing-masing yang berakibat terjadinya polemik kontraproduktif yang berkepanjangan. Bahkan hal tersebut telah mengakibatkan terpecah belahnya suara masyarakat atau LSM yang berdiri mendukung pihak-pihak tersebut dengan bermodal kepentingannya sendiri.
Dalam paparan secara umum mengenai hutan dalam kaitannya dengan bencana tersebut, isu banjir dan tanah longsor yang terjadi memang dipengaruhi secara sangat signifikan oleh keberadaan hutan. Hal yang perlu dipisahkan adalah bencana banjir yang terjadi jauh dari hutan dan bencana tanah longsor yang biasanya terjadi di kawasan hutan.
Pada dasarnya banjir merupakan fenomena hidrologi yang timbul dalam bentuk debit air aliran sungai yang melimpah. Pada kejadian banjir, pengaruh hutan dinyatakan sudah tidak signifikan lagi karena hutan mempunyai ambang batas tertentu dalam pengaruhnya terhadap banjir. Banjir sendiri sebetulnya terkait dengan tingginya curah hujan, kemampuan tanah menyimpan air dan kondisi lingkungan sepanjang sungai.
Fakta membuktikan bahwa banjir dapat saja terjadi di daerah dengan hinterland hutan yang lebat maupun yang gundul. Contoh di Jepang meskipun hutan masih lebat dengan pepohonannya, namun banjir tetap saja terjadi. Penelitian Chay Asdak tahun 1993 s.d. 1995 di Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa bentuk rumah panggung masyarakat Dayak Mentaya adalah sebagai bentuk adaptasi terhadap binatang buas dan banjir yang sering terjadi. Bentuk adaptasi tersebut telah dilakukan sebelum tahun 1970 ketika HPH belum masuk ke Kalimantan yang menunjukkan bahwa dalam kondisi hutan belum terganggu sekalipun, banjir sebagai bentuk curah hujan yang sangat melimpah (rainfall extreme) dapat saja terjadi.
Akibat yang ditimbulkan oleh kemelimpahan hujan relatif berbeda untuk masing-masing lokasi dengan kondisi tanah yang berbeda. Sebagai misal curah hujan 50mm/jam dapat dikatakan ekstrim dan mengakibatkan banjir di daerah dengan kondisi tanah yang dangkal karena serapannya terhadap air juga rendah. Namun berbeda dengan daerah dengan kondisi tanah yang tebal dengan serapan terhadap air yang besar pula.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa selama ini orang tidak mempelajari tanahnya sendiri, namun hanya melihat kondisi kerapatan hutannya saja karena dianggap berkaitan erat dengan banjir. Sedangkan penelitian menunjukkan bahwa banyaknya air hujan yang bisa tersimpan dalam tanah bergantung pada jenis tanahnya. Secara strukturnya, ada golongan tanah yang relatif spesifik sehingga kedap terhadap air, namun ada juga tanah dengan permeabilitas (daya serap) yang tinggi. Hal ini menjelaskan banjir-banjir besar yang terjadi di Kalimantan tahun 1970 dan di Bandung tahun 1980. Pertama, curah hujannya besar. Kedua, kemampuan tanahnya terbatas. Dalam istilah teknis hidrologi, ada yang disebut kondisi kelembaban awal tanah. Pada tingkat tertentu ketika kelembaban tanah sudah terlampaui, maka berapapun air yang jatuh di daerah tersebut baik ada atau tidak ada hutan akan melimpah ke sungai dan menjadi banjir.
Anggapan umum yang berpandangan secara sederhana, banjir terjadi akibat hutan yang gundul. Memang di satu pihak kepercayaan publik (public belief) mungkin saja akan bertentangan dengan pemahaman akademik (scientific understanding). Gap yang seringkali timbul karena apa yang dipercaya masyarakat kadang tidak benar dalam ukuran ilmiah. Dalam hal ini, maka para akademisi dituntut untuk berperan aktif dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat.
Pada kasus Jawa Barat (di Purworejo kasus Ichsan dari LSM FKHPPLH), tanaman Pinus dianggap tidak tepat ditanam di sekitar mataair karena dipercayai mengurangi debit mataair sehingga sungai makin kering. Ini bertentangan dengan hasil penelitian, bahwa dengan curah hujan yang relatif tinggi (diatas 2.000 mm/tahun) maka keseimbangan air sebetulnya tidak akan terganggu karena penguapan pinus kurang dari 1.000 mm/tahun. Namun bagi daerah kering seperti Nusa Tenggara misalnya, maka tanaman Pinus jelas akan menyebabkan berkurangnya cadangan air, tapi tidak bagi Jawa Barat atau daerah-daerah lain dengan curah hujan tinggi. Hanya saja, realita memang membuktikan bahwa run off (aliran permukaan) di hutan pinus lebih besar dibanding hutan jati dan lainnya.
Dengan demikian jika ditinjau sejauh mana fungsi hutan dalam mencegah bencana banjir adalah bahwa hutan berfungsi mengurangi kelembaban tanah dengan penguapannya khususnya dalam kondisi curah hujan normal dan jenis tanah yang punya daya serap air tinggi. Jadi ketika hujan turun, air yang jatuh dapat terserap dengan baik dan tersimpan aman dalam tanah.
Sedangkan kasus banjir di Jakarta merupakan fenomena yang perlu ditinjau dengan hati-hati karena penyebab yang kompleks. Di Jakarta ada faktor yang dikenal dengan faktor antara. Perubahan lahan yang terjadi di daerah antara, yaitu daerah antara kawasan hulu daerah aliran sungai yang biasanya berupa hutan dengan daerah kawasan hilir yang biasanya terjadi banjir, dilakukan tanpa memperhatikan aspek-aspek konservasi. Pada daerah tersebut biasanya dilakukan pertanian secara intensif tanpa memperhatikan aspek konservasi maupun perubahan lahan pertanian menjadi bangunan. Akibat alih fungsi tersebut adalah meningkatnya koefisien aliran air karena air hujan tidak dapat terserap dengan sempurna ke dalam tanah, namun secara cepat dalam volume yang besar langsung mengalir dalam sistem sungai karena tidak lagi mampu terserap dan tertampung dalam tanah.
Untuk kasus longsor, pengaruh keberadaan hutan memang sangat signifikan. Artinya keberadaan hutan sangat penting dalam mencegah longsor. Pengaruh hutan dalam mudah-tidaknya terjadi longsor ada dua hal. Pertama, melalui penguapan air oleh hutan. Fakta membuktikan bahwa tanah longsor terjadi pada tanah miring dan hujan, karena terjadi akumulasi air di dalam tanah sehingga daya beratnya bertambah. Dalam hal ini hutan berpengaruh mengurangi kelembaban tanah melalui penguapan. Kedua, perakarannya mampu menahan tanah pada tempatnya. Ketika tanaman hutan diganti dengan tanaman pertanian, maka tanah di daerah tersebut menjadi rentan terhadap longsor.
Kasus di Jawa Barat yang berencana menjadikan 45% wilayahnya menjadi kawasan lindung adalah kurang tepat. Bagaimanapun penentuan angka tersebut belum melalui proses yang jelas. Hal yang perlu dilakukan adalah pemetaan seluruh wilayah untuk menetapkan angka luasan tersebut. Sehingga dapat diketahui daerah-daerah dengan permeabilitas tinggi yang nantinya akan dijadikan kawasan jebakan air (recharge area) dan mana yang tidak. Dari sini dapat dilakukan penentuan kawasan lindung atau hutan lindung, sedangkan sisanya dapat digunakan untuk fungsi lain.
Pada era otonomi, proses tersebut seharusnya dilakukan dari bawah (bottom up), jadi bukan sekedar angka yang muncul, namun proses penentuannya menjadi hal yang penting.
Dengan demikian, usulan penghapusan hutan produksi adalah tidak tepat, karena kita harus tetap berpandangan realistis bahwa kebutuhan akan kayu terus meningkat dan sangat banyak orang yang bergantung hidupnya dengan kayu.
Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa, ke depan dituntut untuk mengubah pola pengelolaan hutannya dari timber management menjadi ecosystem management dengan produksi non kayu. Dengan pola ini, maka yang dijual bukan lagi kayu namun manfaat hutan lainnya. Selain itu akses masyarakat yang terpinggirkan akan menjadi lebih besar. Untuk itu perlu masa transisi karena produk yang intangible (non kayu) pasarnya belum tersedia. Sebagai contoh adalah air kemasan dimana pungutannya berupa retribusi dan pajak penjualannya saja, sedangkan air sebagai raw materialnya sendiri belum dihargai. Dari sini sebetulnya dapat dipungut pajak lingkungan yang dapat digunakan untuk menghijaukan kawasan hulu.
Dalam konteks emission trade (perdagangan karbon) dalam Kyoto Protocol, kita sebetulnya dapat memperoleh uang dengan tidak menebang hutan namun mempertahankan hutan apa adanya. Namun negara-negara industri maju seperti Amerika dan negara-negara lainnya belum menandatanganinya sehingga pasarnya belum tercipta. Jika sudah, maka Indonesia akan memperoleh uang sebagai kontribusi dari industri penyumbang pencemaran karbon. Karena pasar yang belum siap, maka hutan produksi masih harus terus dipertahankan.
Mengenai pengelola hutan, maka hal yang saat ini harus terus dibenahi adalah mengacu hasil kesepakatan di Rio de Jaeniro dan dikukuhkan kembali di Johannesburg, bahwa salah satu klausulnya menyebutkan pengelolaan sumberdaya itu dapat berkelanjutan bila ada sinergisme antara state (negara), private (masyarakat swasta) dan civil society (masyarakat). Dalam konteks pengelolaan hutan di Jawa maka state dapat diartikan sebagai pemerintah propinsi atau kabupaten melalui dinas kehutanannya, private-nya Perhutani dan civil society adalah masyarakat lokal. Dengan demikian ketiganya tidak boleh saling meniadakan karena sudah ada fungsinya masing-masing. Pemerintah memberi regulasi, private mengelola dari segi bisnisnya dan masyarakat tentu saja harus terlibat secara aktif. Ketiganya harus bersinergi mengelola hutan agar memberikan manfaat yang optimal. Sejarah membuktikan bahwa jika salah satu komponen tersebut bermain sendiri, maka kerusakan hutan akan terjadi. Selain karena pengelolanya selalu diposisikan dalam persepsi pemerintah.
Kembali ke masalah pengelolaan hutan memang masalah antargenerasi sehingga tidak boleh diselesaikan secara emosional, karena jika emosional atau concern yang terlalu berlebihan, maka akibatnya akan ditanggung oleh generasi berikutnya.
Oleh karena itu, semua elemen harus bersinergi dalam mengelola hutan sehingga akan memberikan jaminan dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.(Created by.PAT0R4J1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar